“Maunya yang warna biru, Bu!” Mata Iyon mulai berair.
Dari tadi ibu dan Iyon sudah
memasuki lima toko yang menjual busana dan perlengkapan ibadah. Tapi tak satu
pun yang menjual sarung berwarna biru muda, seperti kemauan Iyon. Ibu sampai
pusing dibuatnya.
“Yang hijau ini bagus loh, Yon.
Warnanya cerah dan kotak-kotaknya enggak terlalu besar,” bujuk ibu
berkali-kali. Om penjualnya juga ikutan membujuk dan memberikan pilihan yang
lainnya.
“Yang hijau mirip punya Kevin. Warna
merah kayak anak perempuan. Iyon maunya yang biru, Bu. Huhuuhuu....” akhirnya
tangisan bocah lelaki 8 tahun itu terdengar juga.
Ibu menarik napas, “Ya sudah, kita
cari di satu toko lagi. Kalau eggak dapat, kamu harus pilih salah satu selain
biru. Bagaimana?”
Buru-buru Iyon menghapus airmatanya
dan mengangguk cepat.
Di toko terakhir.
“Ini ada yang warna
biru, tapi ukurannya besar,” ujar ibu.
“Enggak apa, Bu. Nanti bisa pakai
ikat pinggang. Yang penting warnanya biru, beda dengan punya teman-teman yang
lain,” jawabnya dengan mata berbinar. Dia pun pulang dengan hati riang. Besok
di mushola, pasti semua aka memuji sarung barunya. Hmmm.
*****
Sarung birunya dilipat memanjang dan
diselempangkan di pundak. Iyon berkaca, “wah,
ternyata aku gagah juga, ya,” gumamnya sambil tersenyum. Tak sabar dia
menuju mushola. Pasti sudah ramai.
“Waaah, Iyon punya sarung baru.
Warnanya bagus!” puji Rohid.
“Kemarin aku juga cari yang warna
biru, tapi Enggak ketemu. Kamu belinya dimana, Yon?” tanya Uwan sambil mengelus
sarung Iyon.
“Hehehe, perjuangannya panjang, loh.
Aku dan Ibu sampai mendatangi lima toko. Nah, pas toko terakhir, baru deh ada
yang warna biru begini,” cerita Iyon berapi-api.
“Oooo, pantas saja. Lima toko..”
simak Uwan sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Rohid melebarkan sarung Iyon dan
melilitkan ke tubuhnya yang super gemuk. “Lho, kok muat dengan aku? Apa ini nggak
kebesaran buat kamu, Yon? Panjang pula,” Rohid mengernyitkan dahi.
“Ah, hanya sedikit kebesaran. Kan
ada ikat pinggang,” seru Iyon sambil menunjukkan pinggangnya. Rohid dan Uwan
mengangkat bahu.
*****
Iyon semakin semangat pergi ke
mushola. Seminggu ini, dia berangkat tanpa menunggu kedua sahabatnya.
“Duuh, yang punya sarung baru.
Berangkatnya nggak nunggu kita-kita lagi,” lirik Uwan sambil menahan senyum.
“Ih, apa hubungannya antara sarung
baru dan berangkat duluan? Aku kan mau ngobrol dulu dengan Abi Juni,” jawab
Iyon sedikit bersungut, “lagipula, kalian datangnya sering terlambat, sih!”
“Hehehe... iya, deh. Besok kami jemput
lebih cepat, ya!”
“Naah, gitu dong!”
Sesuai janji, Rohid dan Uwan
menjemput Iyon.
“Yuk, buruan, Yon. Kita kan mau main
lempar gelang sebelum Abi Juni datang,” ajak Uwan sedikit tergesa.
Iyon mengangguk mantap lalu menggowes
sepedanya dengan semangat. Sarungnya diikatkan begitu saja di pinggang.
Setelah
main dan ngobrol, tak lama kemudian Abi Juni meminta Rohid mengumandangkan
adzan. Semua bersiap membentuk barisan.
“Duuh, bagaimana ini? Ikat
pinggangku ketinggalan!” ujar Iyon gusar. Ini gara-gara tadi Uwan memintanya
bergegas. Sehingga dia jadi lupa memakai ikat pinggang. Iyon berharap tidak ada
yang menyadarinya. Dengan bergegas, dia melilitkan sarungnya, “Ah, sepertinya cukup kuat,” gumamnya.
Iyon bisa melaksanakan sholat
berjamaah sampai rakaat kedua. Di rakaat ketiga, tiba-tiba sarungnya melorot.
Terdengar suara tawa tertahan dari teman-temannya di barisan belakang. Iyon
gelisah. Dia segera menarik sarungnya dan memegangnya erat. Namun ketika rukuk,
sarung itu melorot lagi. Kali ini suara cekikikan terdengar cukup jelas. Iyon
langsung berdiri dan berlari pulang. Dia tidak tahu, sesudah sholat berjamaah,
semua teman mendapat tambahan ceramah dari Abi Juni karena sudah menertawakan
Iyon. Yang dia tahu, dia nggak mau lagi ke mushola memakai sarung birunya.
*****
“Bu, sarung Iyon yang lama, dimana,
ya?” tanya Iyon ragu-ragu. Ibu yang sedang membaca buku memandangnya heran.
“Sudah ada yang baru, kok mau masih
tanya yang lama? Memangnya kenapa?” Ibu malah balik bertanya.
“Hhmm, sarung yang baru, kebesaran.
Waktu sholat di mushola, sarungnya melorot,” jawab Iyon dengan raut muka kesal.
“Ibu kan sudah bilang kalau sarung
itu kebesaran. Kamunya ngotot, sih,” sahut Ibu sambil menahan tawa.
“Uh Ibu. kok jadi ikutan ketawa,
sih?” sungut Iyon.
“Eh, maaf, Yon. Ehm, jadi mau pakai
sarung yang lama lagi, nih? Yang kotak-kotak birunya gimana?” tanya Ibu
bertubi-tubi.
“Simpan dulu aja Bu, sampai.....”
“Sampai badanmu sebesar Rohid,”
sambung Ibu menggoda.
“Ibuuuu....”
Hahahaha, Iyon dan Ibu akhirnya tertawa
bersama.
0 komentar:
Post a Comment