Sewaktu
menunggu antrian pemeriksaaan di poli THT karena sering mimisan, saya dengan
sedikit malu-malu bergabung dengan 2 orang Ibu berusia sekitar 60-65 tahun.
Tadinya sih nggak ada niat ikutan nimbrung, tapi karena mereka gemar bertanya
dan posisi saya ada disebelahnya, jadilah saya bergabung dengan dua orang Ibu
yang sebaya dengan almarhumah Mama saya.
Ibu
A berperawakan kecil, berkulit putih dan berpenampilan sederhana. Dia cerita ke
RS ini sendirian karena anak-anak masih pada sibuk kuliah dan sekolah. Suaminya
yang pensiun Pegawai Negeri, sedang di rumah mengurus ayam peliharaan, sekedar
hobby. Ibu B berpostur tinggi dan langsing. Matanya yang bercelak, menambah
tajam tatapannya. Dia cukup ramah dan bersahabat untuk ukuran seorang Ibu yang
berpenampilan necis. Ibu B seorang janda dan pensiunan guru, memiliki 6 orang
anak yang semuanya sudah bekerja. Sekarang, dia hanya bersenang-senang dengan
keluarga besarnya dan mengurus seorang Ibu yang sudah berusia 95 tahun!
Sedangkan
saya, saya seorang istri dan Ibu dari 2 orang putra yang masih kecil. Cukup
ramah dan sedang galau menunggu antrian, hehehe. Jelas saja galau, saya
terpaksa meninggalkan Arung, 4 tahun dengan apaknya di rumah, sementara sang
Bapak harus berangkat kerja setidaknya jam 10 pagi ini. (Makasih sudah sabar
ya... J
).
Dokter
yang sejatinya ada sejak jam 11 siang, sampai jam 13.00 tidak terlihat batang
hidungnya. Walau terlihat tenang, Ibu A sangat gelisah, “Gimana nih dokter.
Molornya lama sekali. Pasien sudah pada capek dan pegal nungguin berjam-jam.
Mana saya belum masak makan siang utuk suami”
“O,
Ibu belum masak tadi pagi?” Ibu B bertanya agak heran.
“Kalau
pagi, sudah Bu. Suami saya itu maunya
sayur harus baru setiap mau makan. Segar dan semangat katanya” Ibu B tersenyum.
“Duh,
repot amat ya, Bu. Kalau saya mah sekali masak untuk satu hari. Lha yang
dirumah hanya Ibu, saya dan si bungsu yang buka usaha warung” Ibu B berdecak
kagum.
Lalu
pembicaraan terfokus pada pengalaman Ibu B mengurus Ibunya yang sudah sangat
sepuh. “Setiap hari saya yang mengurus Emak. Adik-adik saya nggak sanggup bila Emak
tinggal di rumah mereka. Rewel katanya. Kalau di rumah saya, Emak tidak banyak
menuntut dan selalu mendengar semua cerita saya, cucu dan para cicit. Emak
selalu wangi dan ingin tampil cantik. Terkadang saya nggak sanggup
memandikannya terlalu pagi, tapi Beliau selalu ngotot mandi sebelum sholat
subuh. Memang sih pakai air hangat, tapi sayanya yang nggak sanggup, hehehe”
Kami tertawa bersama.
“Anak-anak yang lain nggak pada kangen sama Emak?”
Tanyaku tiba-tiba. Aku membayangkan bagaimana aku dan Mama sewaktu masih ada.
“Adik-adik
saya semua bekerja. Sayang, mereka tidak mengajarkan anak-anaknya untuk
mengurus neneknya (Emak). Sehingga anak-anaknya menumpahkan seluruh kewajiban
mengurus nenek pada Ibunya. Kata mereka, Emak suka minta macam-macam. Sudah
dibuatkan susu minta teh, sudah ada sayur dan ikan, minta telur. Kalau ada yang
tidak menuruti kemauannnya, Emak akan di kamar sampai ada yang mendatanginya,
ngambek.”
“Mungkin
Emak minta perhatian. Di usia begitu, seorang manusia akan berperilaku seperti
anak kecil. Maunya dimanja dan disayang-sayang. Suami saya juga. Saya nggak
boleh jauh-jauh. Ini aja untung ada si kecil yang masih libur sekolah” Ibu A
sedikit menimpali.
“Iya,
Bu. Tapi kan nggak semua harus dituruti. Saya aja terkadang kesal sama Emak. Walaupun
aslinya Emak itu pendiam, tapi kalau sekali ngomel, duuh, panas kuping saya
dibuatnya. Adaaa aja yang salah. Saya dibilang nggak mau mandiin lah, nggak mau
ngajak ngobrol, nggak mau nurutin makannya lah. Apalagi beberapa bulan ini.
Hampir setiap malam Emak mencopot sendiri pampersnya. Makanya setiap subuh dia
mnita mandi, soalnya sudah bau pesing... Ampun deh” Ibu B mulai menampakkan
sikap asli mengenai Emak, seorang Ibu yang selama ini sudah membesarkannya.
“Sekarang
Emak banyak diam. Dia maunya minta pulang terus ke kampung. Padahal, di kampung
hanya ada adik perempuan yang hidup bersama anaknya. Lha, kami aja yang anak
kandung repot harus menjaga Emak setiap hari, apalagi keponakannya. Iya kan,
Bu?” Ibu B minta persetujuan dari kami. Ibu A mengangguk pelan, aku hanya
tertegun.
“Kalau
boleh meminta, janganlah kita sampai tua renta begitu. Selain ngerepotin anak,
kasian juga sudah nggak bisa menikmati hidup” Ibu A sedikit bergumam.
“Tapi,
Bu. Umur di tangan Tuhan. Bagaimana jika kita akan mengalami hal yang sama?
Bahkan malah lebih parah? Tidak bisa berjalan, tidak bisa melihat dan sering
sakit-sakitan?” Reflek aku bertanya ke mereka.
“Kalau
sampai begitu, saya minta ke panti jompo saja. Kan ada uang pensiun. Anak-anak
nggak perlu repot ngurusin saya. Saya nggak mau seperti Emak” Dengan enteng Ibu
B menjawab sambil menawarkan beberapa butir permen.
“Saya
pasrah aja, Mbak. Semua perlakuan anak adalah imbas dari apa yang kita lakukan
selama ini. Makanya saya sering mencontohkan kepada anak-anak bagaimana saya
mengurus suami yang juga sudah mulai tua. Semoga semua itu menjadi bekal mereka
memperlakukan kami kelak” Ibu A menjawab tanpa nada menggurui. Ibu B seperti
pura-pura tak mendengar.
Saya
menarik nafas panjang. Teringat kasih sayang Mama. Seorang perempuan pendiam,
tegas sekaligus berperasaan halus. Yang berjuang sendiri membesarkan 7 orang anak.
Yang selalu terbangun tengah malam untuk meminta hanya pada-Nya. Yang bisa
marah kalau kami mengulangi kesalahan sama secara berulang.
Di
sisa usia Mama, kami berusaha menumpahkan seluruh kasih sayang yang pasti masih
amat kurang. Menyuapi makan, memasangkan pampers sebelum mata Mama mengantuk,
membangunkan perlahan utuk sholat subuh, memandikan, dan memasak atau
membelikan makanan yang Mama mau. InsyaAllah ikhlas dan ridho. Mungkin ada sedikit
lelah di sela waktu, Mama selalu membiarkan kami istirahat tanpa mengganggu.
Sesekali Mama hanya minta martabak di depan pasar Koga atau minta dibuatkan
gulai kepala ikan simba. Mama, bagaimana pun kami melakukan yang terbaik, tetaplah
itu bagaikan setetes air di lautan. Masih jauh dengan kasih sayang yang sudah
Mama berikan. Maaf, Ma. Semoga mama tidak kecewa dengan kami. Semoga, ajaran
Mama selama ini tetap kami pegang teguh, sampai saatnya kita semua dipertemukan
di surga-Nya kelak, aamiin.
Bandarlampung, akhir Agustus 2014
0 komentar:
Post a Comment