![]() |
Belalang Persahabatan. Lampung Post |
Belalang Persahabatan
“Itu,
Kak! Yang di dahan pohon jeruk,” bisik Anca sambil menarik-narik baju Lia.
“Yang
itu masih kecil, Ca. Yang di daun kunyit saja, ya?” usul Lia sambil berjingkat
ke arah pohon kunyit. Tanpa menunggu jawaban, haap... seekor belalang besar
masuk ke dalam toples plastik. Jadi dua ekor sudah tertangkap. Lia tersenyum
puas.
“Nggak
mau... nggak mau.. Anca..mau.. yang kecil,” balas Anca terbata-bata. Dia
menepis stoples berisi dua ekor belalang seukuran jari telujuknya.
Lia
menarik napas panjang. Antara kasihan dan kesal.
“Yang
ini lebih jelas dilihat. Tuh, kelihatan mata dan mulutnya. Anca main sama aku,
ya. Begitu katanya. Kamu nggak lihat?” Lia masih berusaha mengajak adiknya
tertawa.
Tapi
Anca malah menangis kencang. Semakin kencang.
Dia
tidak sanggup melihat airmata Anca yang mengalir deras. Badannya ditegangkan,
tanda dia marah dan sedih.
“Iya,
deh. Kakak carikan lagi. Tapi Anca jangan menangis. Oke?”
Anca
langsung terdiam dan menganggukkan kepala.
*****
“Kak,
ayo!.. kita..cari..belalang,” ajak Anca di suatu siang.
“Nanti
sore saja ya, Ca. Bagaimana kalau main di lapangan?” balas ibu.
“Nggak
usah, Bu. Main sama aku saja!” potong Lia cepat. S takut kalau teman-teman
barunya nanti malah mengganggu adik satu-satunya itu.Anca adalah seorang bocah
lelaki berusia 8 tahun. Kalau dia bisa berdiri, mungkin tingginya sepundak Lia.
Tapi Anca tidak bisa. Kakinya kurus dan sering tegang. Banyak syaraf yang tidak
berfungsi dengan baik. Kata dokter, anak lelaki yang suka tersenyum itu menderita
penyakit cerebral palsy (CP).
*****
Sore
ini Anca dan Lia sedang asyik berburu di halaman samping rumah. Lahan berukuran
2 x 3 meter itu dijadikan kebun mini oleh ibu. Ada pohon kunyit, jeruk nipis,
serai, jahe dan aneka pohon rempah lainnya. Malah di bagian tengah ada dua
pohon kelengkeng yang siap berbuah.
“Ca,
lihat! Kakak dapat yang besar, nih!” Seru Lia senang. Anca melonjak-lonjak di
kursi rodanya sambil bertepuk tangan. “Tapi jangan dilepas seperti kemarin, ya!
Nanti Kakak nggak mau tangkap lagi, loh.”
“Tangkapnya
sebentar aja...nanti dilepas....kasihan,” ujar Anca berubah murung.
“Yaah,
kalau mau dilepas lagi, Kakak nggak perlu capek-capek tangkap dong,” balas Lia
dengan wajah lesu.
“Kenapa dilepas lagi, Ca?” tanya ibu.
“Kasihan.
Nanti dia nggak bisa main....sama teman-temannya....” jawab Anca polos.
Ibu
dan Lia saling berpandangan.
“Ya
sudah. Setelah Anca lihat di stoples, belalangnya kita keluarkan lagi, ya!
Bagaimana kalau dilepaskan di lapangan. Pasti seru?” usul ibu mengedipkan
mata.
Lia
mengernyitkan alis.
“Anca...takut...takut...”
“Tenang,
ada Kakak Sang Penangkap Belalang. Iya kan, Kak?” ujar ibu memberi semangat.
Lia
berusaha tersenyum walau agak ragu. “Iya, deh. Yuk!”
.
*****
Lapangan
tak terlalu jauh, hanya melewati satu belokan berjarak tiga rumah. Anca mulai
tersengal. Tapi matanya berbinar melihat ramainya anak-anak yang bermain di
lapangan. Toples berisi belalang di ikat di pangkuannya.
“Hali
Lia... kemana saja? Sudah beberapa hari kami tidak lihat kamu di lapangan!”
tanya Rania ramah. Rania adalah teman pertama semenjak Lia dan keluarganya
pindah ke perumahan ini satu bulan yang lalu. Tanpa dikomando, beberapa anak
mengerubungi Lia dan Anca.
Anca
sedikit panik. Dia melirik ke arah kakaknya.
“Ini
adikku. Namanya Anca.” Sebenarnya Lia khawatir teman-teman akan mengganggunya
karena melihat Anca berbeda. Tapi, di luar kenyataan!
“Hallo
Anca... Naah, begitu dong. Kita main sama-sama di lapangan,” seru Adit
tersenyum jenaka.
“Nanti
kalau Anca capek, aku yang dorong kursi rodanya, ya?” ujar Endi senang sambil
memegang pundak Anca.
Anca
jadi tidak panik lagi. Dia tertawa memamerkan giginya yang sebagian keropos.
“Anca...senang...senang...”
ujarnya sambil berusaha bertepuk tangan.
“Eh
Anca. Yang di toples itu apaan? Sepertinya meloncat-loncat?” tanya Ami
penasaran. Hampir semua teman mengerubungi Lia dan Anca.
“Ini
belalang... belalang besar...Kakak yang tangkap, hee...”
“Woow,
pasti seru menangkap belalang. Terus sekarang mau diapakan?”
Lia
membiarkan adiknya menjawab semua pertanyaan. Lia terharu ternyata semua teman
barunya sangat baik.
“Mau
dilepas...kasihan...” jawab Anca dengan mata berbinar.
“O
begitu. Teman-teman, bagaimana kalau kita lomba menangkap belalang. Kalau sudah
terkumpul, kita hitung. Yang dapat banyak berarti menang!” Usul Endi yang
disambut teriakan heboh teman-teman di lapangan.
Nanti
Anca yang melepaskan, ya? Anca mau ikutan main, kan?” Tanya Adit sambil bersiap
mencari wadah untuk menangkap belalang.
“Anca
mau...mau...kita main sama-sama.”
Ah,
Lia bersyukur memiliki teman yang baik dan adik yang pintar seperti Anca. Lia
berjanji akan lebih sering mengajak adiknya bermain sambil belajar.
Alhamdulillah dimuat di Harian Umum Lampung Post edisi Minggu, 7 Mei 2017
Dunia anak memang sarat dengan persahabatan dan cinta.
ReplyDeleteTerus berkarya agar anak-anak Indonesia bisa belajar tentang cara bersikap dan berbuat melalui keteladanan, yang sangat efektif disampaikan melalui cerita-cerita yang bagus dan bermutu.
salam karya.