Telur Raksasa di Pohon Mangga
Sudah beberapa bulan ini, pak tua
yang biasanya memotong rumput di tanah kosong sebelah rumah Zaki, tidak datang.
Rumput yang mulai tinggi dan daun pohon mangga yang rimbun, sangat mengganggu
para tetangga. Karena rumah Zaki tepat berada di sam
pingnya, maka mau tidak mau ayah harus menebas sebagian dahan dan daun pohon mangga.
pingnya, maka mau tidak mau ayah harus menebas sebagian dahan dan daun pohon mangga.
Zaki melongokkan kepalanya berkali-kali ke atas
pohon mangga. Benda berbentuk lonjong seperti telur raksasa itu benar-benar
mengganggu pikirannya. Bagian luarnya tidak mulus seperti telur. Mirip cangkang
kerang berlapis-lapis, berwarna putih bercampur cokelat muda. Kalau dilihat dan
diamati dari bawah, ukurannya sebesar kepala Zaki.
“Zaki, kamu sedang apa?” Arung
tiba-tiba sudah berada di samping Zaki. Sepedanya disandarkan begitu saja di
tembok.
“Aku penasaran dengan benda itu.”
Tangannya menunjuk ke atas pohon mangga.
“Iih, apa itu? Kok warna dan
bentuknya aneh!” Arung bergidik melihatnya.
“Aku juga nggak tahu,” sahut Zaki
sambil terus mengamati, “Aku baru melihatnya setelah Ayah memangkas pohon ini
tadi pagi.”
“Bagaimana kalau kita lempar pakai
batu supaya jatuh?” Usul Arung.
“Aku nggak berani. Kita kan nggak
tahu benda itu berbahaya atau tidak.”
“Ya sudah, deh. Besok-besok saja
kita lihat lagi. Sekarang kita main sepeda, yuk!”
Zaki mengambil sepedanya di garasi.
Meluncur bersama Arung menuju lapangan. Sore begini, lapangan pasti ramai oleh
anak seusia mereka.
*****
“Zaki, apa benar ada telur raksasa?”
Banyu yang bertubuh gempal itu menghampiri Zaki.
“Telur raksasa?” Anak lelaki
berpostur kurus itu menatap Banyu bingung.
“Yang kemarin itu loh, Ki,” jelas Arung.
“Ooo, yang di pohon mangga samping
rumahku itu? Mmmh, aku juga nggak tahu. Bentuknya aneh.”
“Yuk kita kesana!” Tanpa menunggu
jawaban, Banyu sudah mengayuh sepedanya dengan kencang. Panggilan Zaki tak lagi
didengarnya.
“Huuh..! Arung, ayo kita ikuti dia!”
Mereka pun bergegas mengikuti Banyu dari belakang.
Tiga anak lelaki itu terus mengamati
pohon mangga. Sesekali mereka mendekat, lalu menjauh.
“Arung, bagaimana kalau kamu naik ke
pohon mangga?”
“Aku? Enggak mau! Kamu saja.” Tolak Arung kesal
dengan usul Banyu.
“Aku tidak bisa memanjat pohon. Atau
kamu saja, Ki?”
Dengan cepat Zaki menggelengkan
kepala, “Lebih baik kita pulang saja. Perasaaanku nggak enak, nih.”
“Ih, kamu ini penakut sekali!”
“Terserah kamu, deh! Yuk, Rung, kita
pulang saja. Nanti malam aku coba tanya ke Ayah benda apa itu sebenarnya.” Baru
saja Zaki membalikkan badan, tiba-tiba.. tuuk...tuuk.. terdengar dua kali suara
timpukan. Banyu menimpuk telur raksasa itu! Dan apa yang terjadi? Puluhan
binatang bersayap terbang ke arah Banyu dengan suara dengungan yang cukup
keras. Tawon!
“Adduh, sakiit...sakiit...”
“Ayo, Banyu... ambil sepedamu! lariii...lariiii..!”
Tanpa melihat ke belakang lagi, mereka
bertiga menggowes sepedanya dengan kencang. Banyu masih mengaduh kesakitan.
*****
Badan Banyu bentol-bentol. Rupanya,
telur raksasa yang ada di pohon mangga itu adalah sarang tawon. Zaki, Banyu dan
Arung tidak tahu karena selama ini mereka belum pernah melihatnya.
Zaki dan Arung menengok Banyu. Sudah
dua hari dia tidak main di lapangan.
“Banyu, bagaimana keadaanmu?” Tanya
Arung sambil menyerahkan satu dus kue bolu buatan Mama.
“Sudah lebih baik, Rung. Untung Ibu
cepat membawaku ke puskesmas. Badanku diolesi salep dan minum obat. Nih lihat,
bentol-bentolnya sudah hampir hilang” Banyu sudah bisa tersenyum.
“Syukurlah. Kata Ayahku, sarang
tawon itu tidak boleh dipukul atau ditimpuk. Nanti mereka marah dan menyerang
yang ada di dekatnya. Gigitannya berbahaya, lho!” Zaki menjelaskan.
“Waah, aku jadi ngeri main ke
rumahmu, Ki. Kan antara pohon mangga dan rumahmu dekat sekali” Arung masih
ketakutan mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.
“Tenang saja. Ayah sudah membuang
sarang tawonnya” Balas Zaki tersenyum, “Tadi malam, Ayah membuat buntalan kain
yang sudah dibakar dan menyisakan asap yang diikat di ujung bambu panjang. Nah,
bambu itu didekatkan ke sarang tawon sekitar 1 jam lebih. Setelah tawon pergi
meninggalkan sarangnya, baru Ayah mengambil sarang yang menggantung itu” Zaki
menjelaskan panjang lebar.
“Waaah, Ayahmu pemberani banget!”
Banyu melongo.
“Hehehe, sama seperti anaknya” Ucap
Zaki sambil tertawa.
“Ah, kalau pemberani, kenapa
kamu juga ikutan lari, Ki?”
“Kalau nggak lari, aku bakalan
seperti Banyu, dong.”
“Mmh, ini pelajaran buat kita. Lain
kali, kalau melihat sarang tawon, kita nggak boleh menimpuk, apalagi
memukulnya” Arung mencoba menarik kesimpulan.
Zaki dan Banyu mengangguk mantap.
Sambil menikmati bolu buatan Mama Arung.
Alhamdulillah.
Dimuat di Bobo, edisi 25. 20 September 2015.
Dan masuk di soal uas matkul konsep b indonesia uny :"")
ReplyDeleteMbak Dinda... gimana maksudnya ya? hehehe. saya belum nyambung nih. Btw, terimakasih kunjungannya, ya :)
Delete