Seorang
nenek belanja di warung saya. Untuk ukuran usia 70-an, si nenek masih terlihat
gagah walaupun dengan baju daster yang warnanya mulai pudar.
“Mbak, ada
roti gabin?”
“Ada, Nek.
Yang tawar, manis atau rasa abon?” saya balik bertanya.
“Itu loh
yang dibeli Mirna (anaknya-pen) kemarin. Cucu-cucu saya pada suka”
“Oo, yang
manis. Ada. Mau berapa, Nek?”
“2 Bungkus
aja. Berapa harganya?” Si nenek segera mengeluarkan dompet di balik bajunya. “Sepuluh ribu, Nek”
Sambil
memicingkan mata, dia menghitung uang 2000 an yang digulung-gulung dan
menyerahkan semuanya ke saya.
“Tolong
dihitungin. Mata Nenek sudah lamur” Dengan mengangguk sambil tersenyum, saya
mengambil uangnya dan mengembalikan sisanya. Setelah menerima bungkusan, beliau
malah duduk di kursi malas depan warung. Saya pun ikut duduk di sampingnya.
“Hhh, serba
salah saya ini, Mbak. Capek” Nenek memulai curhatnya.
“Kalau
capek ya istirahat, Nek. Umur Nenek ini harus banyak istirahat. Nggak boleh
mengerjakan pekerjaan yang berlebihan” Yang saya tahu, anak lelaki dan
perempuan nenek tinggal dirumahnya,
termasuk 3 orang cucu yang usianya 1 sampai 5 tahun.
“Iya, waktu
masih muda sih saya paling senang bekerja. Kalau sekarang, menggendong cucu
yang beratnya 15 kg aja sudah ngos-ngosan. Punggung dan pinggang rasanya remuk”
Keluhnya pelan. “Nah ini lagi, terkadang saya juga yang harus beli cemilan
untuk cucu-cucu saya. Padahal anak-anak saya tahu, saya hanya mengandalkan
hidup dari uang kontrakan kamar samping dan pensiun yang nggak seberapa.”
Terenyuh
mendengar curhatan si nenek. Yang saya tahu, anak lelaki dan istrinya adalah
PNS golongan menengah. Anak perempuan dan suaminya kerja kantoran juga.
“Memangnya
nggak ada Mbaknya, Nek?”
“Walllaaah,
mana ada yang betah! Wong cucu-cucu saya itu kayak cacing kepanasan. Sukanya
kejer-kejeran, berantem-beranteman ama ngacakin rumah. Pokoknya, saya nggak ada
waktu buat istirahat. Satu tidur, dua bangun. Dua tidur, satu bangun.
Hhhhhh....kadang-kadang, mau ke gereja aja nggak bisa. Sama kayak Bu Anti,
nggak bisa ikut pengajian sampe cucunya umur 3 tahun”
Glegkh...
saya menelan ludah beberapa kali. Lalu, saya coba berpikir. Kalau saja sang
ayah mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, kalau saja ibu mau berbesar hati
mengambil keputusan bijak denga tolak ukur banyak sisi, mungkin si nenek tidak
akan mengalami ‘penderitaan’ sedahsyat itu. Mungkin ada banyak alternatif yang
belum tergali.
“Eeh, saya
jadi curhat nih. Udah, ah, Mbak. Takut cucu-cucu pada berantem kalau saya
tinggal kelamaan. Makasih, ya”
“Iya, Nek.
Istirahat yang cukup, Nek..”
“Hahahaha...
istirahatnya nanti aja. Tunggu di alam lain..hahhaha” Si nenek tertawa getir.
*****
Ibu, sudah
mengurus kita bahkan dari sebelum kita lahir. Ibu menunggu kita sedikit besar
untuk menikmati ‘kesendiriannya’. Menjalani hobby yang dulu belum sempat dia
nikmati. Menanam pohon, memandang daun yang jatuh ke bumi di sela waktu
merajutnya, membaca buku dengan tenang, berkunjung ke tempat saudara dan
menuangkan cinta dengan khusyuk pada Sang Pencipta. Sekarang pun, ibu masih
mengurus semua kebutuhan keluarga kecil kita. Ibu, perempuan gagah yang serba
bisa. Yang selalu berusaha menyembunyikan airmata dari pandangan jenaka
anak-anaknya.Yang selalu ada untuk kita. Apakah kita selalu ada untuknya?
Sahabat,
Teruslah berusaha mencari alternatif bijak untuk memberi
kenyamanan pada orangtua, terutama ibu. Selagi engkau belum menemukan jalannya,
ijinkan ibu menikmati usia tuanya. Kalau memang hanya beliau yang kita percaya,
setidaknya, penuhi mimpinya.
Dia memang masih bisa membuat sendiri secangkir teh atau
susu dengan sedikit gula, tapi dia lebih berbunga jika kita yang
menyeduhkannya. Walau dia mampu membeli minyak angin ke warung, dia akan lebih
senang jika kita selalu mengecek ketersediaannya dan meletakkan di pinggir
tempat tidurnya tanpa diminta. Biarkan dia menikmati pijitan lembut dari
lincahnya jemari kita, walau mungkin tidak semantap pijitan Wak Inah, tukang
pijit langganannya.
Dan, disela keikhlasannnya merawat anak-anak kita, ajaklah
dia berkeliling. Untuk melihat binar bahagia dimata kita, anak-anaknya.
Bukankah, kebahagiaan kita sudah wajib menjadi miliknya juga?
Pelitanusantara,
februari 2015
0 komentar:
Post a Comment