Bukannnya
kami egois dan ingin menuntutmu untuk kebahagiaan kami. Bukan! Apa yang akan
kami sampaikan kali ini adalah tuntutan yang semoga bisa menjadi tuntunan di
hidupmu selanjutnya. Semoga engkau berkenan memahami dan meneliti dengan hati,
setiap kalimat yang terucap dari bibir kami yang mulai keriput.
Sewaktu
kecil, engkau kami didik dengan penuh cinta dan kasih sayang. Kami beri ciuman
lembut, tatapan penuh harapan dan sesekali canda, pun marah. Ketika pertama
kali engkau mendengar adzan melalui suara merdu ayahmu, engkau mulai diajarkan
mengenal Tuhan, menjadikan Ia sumber segala yang kau pikirkan dan lakukan. Tak
boleh tidak! Kami nanti akan mengajarkan bagaimana cara bersyukur dan berterima
kasih pada-Nya. Tidak hanya dari kami, kau juga harus mencari makna kehidupan
lainnya dari orang-orang sekitarmu dan alam semesta. Kelak, ketika engkau mulai
sedikit memahaminya, galilah lagi dengan sepenuh hati dan akal sehat. Maka kau
akan merasakan takjub, betapa Tuhan selalu ada di setiap kedipan matamu, bahkan
di semua aliran darah dan udara yang kau hirup!. Sabar, Inshaa Allah kau akan
mengalaminya.
Seiring
waktu, engkau mulai merasa sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Berjalan,
mengambil minum, memakai sepatu, membaca doa untuk orangtua. Duh, bangganya kami
dengan semua perkembanganmu! Mata kami selalu berbinar melihat tawamu yang
lepas, tepukan dari tanganmu yang mungil dan segala ceriamu. Itu adalah obat
lelah setelah seharian kami disibukkan oleh pernak-pernik kehidupan. Engkau
adalah pelebur gundah dan penghilang resah. Kami pun mulai menyiapkan diri
untuk menjadi orangtua yang lebih bijak, sabar, cerdas dan istimewa di matamu.
Masa
selanjutnya, engkau sudah tidak mau lagi
dipeluk dan dicium di depan orang banyak (walaupun pada kenyataannya, engkau masih sering mencium Ibu, apalagi kalau
permintaanmu dipenuhi, J ). Sepulang sekolah, kau hanya sesekali bercerita tentang
teman yang jahil dan setia, tentang guru yang baik dan galak, pelajaran yang
makin lama makin susah kau pahami, atau tentang harga jajanan di kantin yang
mulai naik. Ujung-ujungnya kau merajuk supaya uang sakumu dinaikkan demi bisa
jajan dan menabung, begitu katamu. Maka kami, dengan tetesan keringat, berusaha
semaksimal mungkin memenuhinya. Kami tak ingin engkau merasa tak berkecukupan
dan nelangsa dengan semua ini. Keliahatan lebay, ya? Ya, itulah kami, mungkin juga
milyaran orangtua di luar sana.
Kami
tak akan sanggup menatap mata sayumu menyaksikan teman-teman asyik dengan
berbagai cemilan dan fasilitas yang katanya ‘penting’ dalam genggamannya. Juga
tentang laptop yang sangat membantumu dalam proses belajar di sekolah, kami
juga akan usahakan. Tetap dengan tetesan keringat dan setumpuk doa, agar apa
yang kami lakukan ini mendapat balasan cinta darimu, hanya cinta, tak lebih!
Ucapan
terima kasih darimu bagaikan air pegunungan saat kemarau. Sejuk dan
menyegarkan. Sungguh kami merasa benar-benar menjadi orangtua ketika mampu
memenuhi semua keinginanmu. Seandaikan ada yang tidak bisa kami penuhi, pasti
ada berbagai pertimbangan yang menyertainya. Engkau ingat bagaimana kami dengan
kokohnya tak mengabulkan permintaanmu untuk dibelikan sepeda motor saat usiamu
15 tahun?. ‘Semua teman membawa motor ke sekolah,
Yah. Aku kan sudah bisa dan sudah besar, malu kalau diantar jemput terus,” katamu
sambil merengek dan cemberut. “Kamu belum cukup umur,” jawab Ayahmu
pendek. “Kan bisa bikin SIM tembak, Yah,
kayak teman-teman aku. Semuanya begitu” jawabmu mulai ngotot. Kami menarik
nafas panjang. Betapapun kau meraung dan menangis darah sekalipun, sungguh,
kami tak akan mengabulkannya! “Bikin SIM
hanya boleh ketika seseorang sudah berumur 17 tahun, Nak. Kau ingin berbohong
pada waktu yang diberikan Tuhan? Lalu, seandaikan kau mengalami musibah saat mengendarai sepeda
motor yang kami belikan, kau tahu siapa yang akan disalahkan? Kami, orangtuamu!
Itulah akibatnya membelikan sepeda motor untuk anak di bawah umur, begitu kata
semua orang. Lalu hidup kami dan kita semua akan dipenuhi dengan penyesalan dan
kesedihan. Kamu mau begitu?” Balas Ayah dengan tatapan sayang dan suara
tertekan. Walau masih setengah hati, engkau mau juga menuruti dan mendengar
kata-kata kami. Terimakasih atas pengertianmu, Sayang... Kami jadi merasa
sedikit berhasil mampu duduk manis di salah satu sudut hatimu...
Ketika
engkau berhasil menempatkan diri sebagai seorang anak yang penuh kesantunan dan
mendapat kepercayaan dari kami dan orang sekeliling, sekali lagi kau meminta
sesuatu yang, jujur saja, sangat sulit kami penuhi. Engkau ingin menuntut ilmu
di pulau seberang...! Bagaimana mungkin kami bisa mengabulkannya? Bukan hanya
materi sebagai pertimbangan semata, tapi, sanggupkah kami tak mendengar tawamu
setiap pagi? Mampukah kami mengisi hari tanpa request menu dan kejahilanmu pada saudara-saudaramu? Atau, bisakah
kami menikmati indahnya kebersamaan, sementara kami tak bisa tahu bagaimana
pertemananmu di sana? Hhh, susah, Nak... susah sekali.. Kita semua harus
berdiskusi panjang untuk memutuskan masalah ini..
Kami
belum puas merasakan serunya mencoba berdamai dengan semua tangisan dan tawamu.
Sepertinya baru beberapa bulan yang lalu kami harus ‘terhibur’ oleh tangisanmu
saat kau minta susu atau mengompol. Tahu, nggak? Ibu pernah menangis lho karena
engkau terus menangis sementara Ibu mau ke kamar kecil. Tangisan Ibu berubah
menjadi kesal, lalu akhirnya menyesal karena sempat merasa terbebani... Duh,
membayangkan itu, Ibu jadi malu sendiri.. betapa Ibu menjadi perempuan yang
kurang sabar saat itu.
Nah,
sekarang engkau pun masih mengajarkan kesabaran pada kami. Sabar untuk
menghadapi semua tingkah lakumu. Mulai dari yang menyenangkan, mendebarkan, membuat
alis mata kami mengkerut dan terkadang yang membikin kami harus menarik nafas
panjang sambil mendelikkan mata ..
Oiya,
mengenai keinginanmu untuk seolah di luar kota, kami akan pertimbangkan dulu.
Sementara ini, belajarlah dengan giat dan tekun. Buktikan pada dirimu sendiri. Bahwa
jika kami menyetujui permintaanmu, maka kau harus mampu menjalaninya. Namun,
bila kami tak bisa memenuhinya dengan berbagai alasan, maka kami mohon ridhomu
untuk tetap berada di sisi kami, setidaknya sampai engkau kami anggap layak dan
mampu menapaki titian hidup berdasar pada doa kami, bukan hanya sekedar pada
kehadiran kami di sela langkahmu.
#Semua orangtua adalah anak,
namun tidak semua anak kelak akan menjadi orangtua. Maka, belajarlah!#
Oktober, 2014
0 komentar:
Post a Comment