Mau ku airmata ini tak
lagi sering mengalir, rasa sedih itu tak lagi sering muncul tiba tiba. Tapi tak
bisa….. Setiap sholat, setiap apa yang kulakukan selalu ada mama disitu….
21 april. Pada tanggal
itu, 23 tahun yang lalu, tepatnya ketika usiaku 12 tahun, aku pernah menuliskan
puisi untuk mama. Pagi pagi kuletakkan di bawah bantalnya. Isinya hanya pujian
sederhana tentang mama yang bisa mengurus kami 7 orang anaknya, padahal papa
sudah meninggal di saat adik bungsuku berusia 1,3 tahun… Sewaktu mama
membereskan tempat tidur, mama membaca dan tertawa sambil mengelus kepalaku,
“makasih ya, ternyata anak mama ada bakat jadi penyair nih”. Kulihat dimata mama, ada sinar bangga dan terharu, sekaligus
tetes airmata, mengambang di jernih matanya…
Mama adalah perempuan
luar biasa. Beliau bisa selembut sutera ketika merawat kami sakit, bisa tak ada
lelahnya mengusap dadaku dengan doa dan minyak angin ketika asmaku kambuh. Mama
juga bisa sekeras batu ketika kami melakukan kesalahan sama berulang ulang. Aku
ingat ketika kakak lelakiku ‘belajar’ merokok sewaktu SMP, mama menawarkan
opsi, mau terus sekolah atau berhenti dan menjadi pemulung supaya bisa beli
rokok sendiri!. Untunglah kami dibekali
pendidikan yang cukup, kakakku menurut, walau di usia kerjanya semua kakakku akhirnya merokok…
Mama juga sangat
memperhatikan pendidikan kami. Pernah juga kakakku tidak berani masuk sekolah
karena tdak membayar iuran mingguan. Kalau tidak bayar, tidak boleh masuk
sekolah, begitu kata pak guru. Mamaku yang pemberani, mendatangi kepala sekolah
dan dengan santun berkata “Maaf pak, apa begitu cara seorang guru mendidik
anaknya?. Saya pikir tidak seharusnya murid dibebankan iuran mingguan lagi
karena selain sudah ada spp, juga dak ada surat pemberitahuan dan laporan dari
sekolah. Apakah tidak berlebihan karena dengan uang segitu nak saya sampai
kehilangan haknya sebagai murid!”. Langsung saja guru yang bersangkutan
dipanggil oleh Kepala sekolah yang juga tidak tahu menahu tentang iuran tersebut,
dan mendapat teguran keras. Alhasil iuran mingguan dihapuskan!. Itu mamaku, 20
tahun yang lalu, berani, tegas sekaligus lembut dan tenang.
Sewaktu SMA, aku paling
suka makan tempe disambal manis, aku sangat tahu mama tidak suka tempe. Tapi
demi aku, seminggu bisa 3 sampai 4 kali mama membuatkannya. Kalau lahap makan,
mama bilang, “Syukur deh sukanya yang murah murah ya vi”, celetuknya sambil
tertawa. Aku tersenyum meringis
mengiyakan. Mama tidak peduli walau mama harus masak menu lain untuk mama dan
sadara-saudaraku.
Pun ketika aku ingin
mencoba mendaki gunung. Dengan bekal asma, tadinya mama menolak mentah mentah.
Tapi aku sangat memaksa sehingga akhirnya mama mengijinkan dengan syarat
membawa obat, dan apabila kumat, tak akan boleh lagi. Aku siap dan semangat.
Alhamdulillah, berkat doa mama aku tak pernah kumat dengan pendakianku sampai 4
gunung. Banyak lagi cerita tentang mamaku yang takkan bisa ku urai satu
persatu.
Seiring usia kami yang
beranjak dewasa, mama semakin bijaksana. Mama bisa menempatkan diri sebagai
orangtua yang sangat disegani, tetangga yang dihormati dan saudara yang sangat
dibanggakan di tengah ‘kesendiriannya’. Kami pun mulai memandang mama utuh
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Beban hidup yang cukup berat kadang
membuat kami sangat maklum, tapi terkadang kami juga masih jahil melupakan dan
melanggar beberapa nasihatnya. Duh mama, aku berdosa ketika SMP pernah
membanting pintu,kesal karena mama blum bisa menambah uang jajanku. Aku jadi
anak yang tidak tahu diri. Maaf ya ma.. aku tahu itu sangat menusuk perasaanmu,
tapi di penghujung waktu, aku berharap semoga bisa menjadi penjagamu…..
Mama, inilah anakmu di
usianya yang ke-27. Aku siap menitipkan hatiku pada seorang lelaki soleh yang
kuharap bijaksana dan baik hatinya. Seorang lelaki yang bisa membawaku serasa
mempunyai sorang ayah. Nasihatmu untuk selalu memperlakukannya dengan baik
takkan pernah kulupakan. Aku ingat, proses pencarian itu tidaklah mudah. Aku
harus melewati beberapa fase yang sepertinya tidak berujung.. Setuju, tidak setuju menjadi kata ampuh untuk
dilanjutkan atau tidak. Belum lagi kelima kakakku yang mau tidak mau sangat
berperan di usia mudaku. Kebebasan yang mama beri bukanlah harga mati untuk
menghentikan pada satu pilihan… Aku terus
mencari hingga akhirnya menetapkan hati. Terimakasih atas kepercayaan mama.
Waktu terus berjalan,
keputusan berhenti bekerja setelah melahirkan, ternyata sangat membuat mama
kecewa. Mama berfikir bekerja di kantor adalah tujuan akhir setelah megecap
pendidikan S1. Aku sudah jelaskan ke mama bahwa aku dan suami ingin mendidik
putra kami dengan full, ingin menjadi
ibu yang nyaris sempurna seperti mama. Tapi tidak menurut mama, aku kuliah
untuk bekerja di kantor, urusan anak dan rumah tangga biar mama yang mengawasi
ditemani pengasuh. Aku cukup lelah menghadapi perseteruan pemikiran, hingga aku
coba mengabaikan dengan harapan suatu saat mama akan memahami keputusanku.
Penghujung tahun 2006
adalah tahun yang sangat suram buat kami sekeluarga. Dimulai dengan menurunnya
kondisi kesehatan mama di usia 61. Mama merasa tidak enak makan dan perutnya
terasa keras. Awalnya mama dan kami berfikir penyakit maag mama kambuh.Tapi
setelah melalui rentetan pemeriksaan dalam kota, dokter mmvonis mama terkena
tumor adrenal. Tumor yang semakin berkembang menyelimuti ginjal kirinya!. Kami
semua mencoba tegar, bersikap tenang di hadapan mama. Tapi akhirnya pertahanan
kami runtuh, dengan perlahan kami jelaskan bahwa mama harus di bawa ke Jakarta
untuk dioperasi. “kalau cepat insyaAllah bisa sembuh ma, yang penting kita
semua nggak berhenti berdoa dan mama juga harus kuat seperti biasa”, kami berusaha
menguatkan mama. Mama hanya bisa menganggukkan kepala dengan tatapan datar.
Mama menjadi tidak seperti biasanya, lebih pendiam dengan nafsu makan yang
nyaris hilang.
Tumor mama sangat
ganas. Dalam waktu 3 bulan, berat badan mama turun sampai 9 kg!. Dengan ijin
suamiku, aku menemani mama di RSPAD Gatot Subroto selama hampir 3 bulan. Dua
minggu sekali aku pulang bergantian dengan kakak kakakku di hari sabtu dan
minggu. Berat memang, aku harus meninggalkan putraku yang sedang lucu lucunya.
Tapi untunglah aku memiliki suami yang pengertian dan memahami perasaanku. Yang
ada dipikiranku adalah mama akan sembuh, nggak mungkin tumor itu bisa bertahan
lama di tubuh mama yang sangat kuat.
Dengan pemeriksaan 1,5
bulan, dokter memutuskan untuk operasi besar yang melibatkan 4 dokter
spesialis. Mereka bilang ini adalah operasi yang cukup sulit karena jarang
terjadi. Biasanya tumor berada disamping atau bagian lain, tapi tumor mama menyelimuti
seluruh ginjal!. Satu satunya cara mama harus kehilangan ginjal kirinya. Mama
terlihat sangat tenang. Perlahana ku mulai memahami perasaan mama. Jelas aku
tak akan pernah bisa membalas semua yang diberikannya. Tapi Tuhan, ijinkan aku
dengan segala kerendahan hati menuangkan cinta di atas derita dan sakitnya. Aku
lakukan semua yang ku bisa untuk mama.
Di ruangan kecil dan
bersih itu mama selau kutemani. Ada gelak tawa dan keluh kesah sesama pasien. Mama
adalah pasien terlama di ruangannya. Ada kegusaran di mata mama, kegelisahan di
tidurnya. Tapi entahlah, mama pintar sekali menutup semua itu. Mungkin mama
sudah terbiasa menutup kesedihan dan perasaannya seperti yang selama ini mama
lakukan. Pasien tetangga yang usianya sebaya dengan mama bercerita, betapa
sedihnya ia selama dirawat hanya ditemani pembantu, sementara 5 orang anaknya
sibuk bekerja. Mama mencoba menghibur, mereka bekerja kan untuk menyenangkan
hati orangtua juga bu, begitu mama bilang. Tapi ketika malam tiba, mama
menangis, takut hal itu akan terjadi padanya. “Nggak mungkin kami melepas mama,
vi nggak akan kerja, vi akan jaga mama, yakin deh ma, mama nggak akan ngalamin
itu semua”, ujarku. Malam itu kami menangis bersama sama. Malam itu juga, untuk
pertama kali kami mensyukuri keputusanku untuk bekerja di rumah.
13 Maret 2007. Hari itu
datang juga. Berat badan mama merosot tajam dari semula 64 kg menjadi 44 kg.
Dengan dikawal anak anaknya mama kami antar menuju kamar operasi. Mama
menitikkan airmata sambil berkata, “maafin dan doain mama ya..”. Aku hanya bisa
meminta mama terus istighfar. Aku berusaha sekuat tenaga tersenyum, walaupun
jelas semua itu terpaksa. Kerongkonganku sakit sekali menahan tangis yang siap
meledak. Tapi untunglah, senyumku adalah raut muka terakhir yang mama lihat
sebelum masuk ruang operasi. Kakakku yang lain sudah meneteskan airmata jauh
sebelum mama masuk ruang operasi. Ksedihan mereka jelas sama seperti aku,
mungkin juga bisa lebih. Mereka sedikit sekali memiliki kesempatan bersama
mama.
Operasi mama memakan
waktu 8 jam. Selama itu pula kurasakan jarum detik berjalan pelan sperti jarum
menit. Keluarga besar mama brkumpul. Semua terlihat tegang. Apalagi melihat aku
dan adikku berulangkali megambil kantong darah, mama sempat blooding. Usia dan
kesehatan mama sangat berpengaruh terhadap jalannya operasi. Jam 16.00 operasi
selesai. Alhamdulillah, terimakasih ya Allah. Kami melihat tumor mama sangat
besar dengan berat 3 kg!. Mama, berat sekali perjuangan melawan penyakitmu…..
Pasca operasi adalah masa
sulit. Aku heran sekaligus brsyukur, Allah tidak membiarkan asmaku kambuh sekalipun
aku harus tidur dilantai beralaskan kasur busa yang tipis dan bolak balik
mengambil darah di tengah malam yang sangat hening. Rasa takut pun tak
kurasakan. Ajaib!. Allah memberikan keberanian luar biasa padaku saat itu.
Mama sempat mengalami
masa krisis. Dokter bilang, tumor mama tidak semuanya bisa diangkat. Masih ada
sisa yang jika diangkat akan membahayakan mama saat itu juga. Operasi hanya
untuk perawatan, bukan penyembuhan total. Beliau meminta kami untuk menyerahkan
segala sesuatunya kepada Allah SWT, karena Dia ah Yang Maha Kuasa. Duh mama,
jelas kami berrharap mama sembuh. Mama kuat melawan tumor ganas itu… Kesehatan
mama pun berangsur pulih.
30 Maret 2007.
Ulangtahun mama kali ini tidak dirayakan. Kami ada di Bekasi dan mama menolak
aku buatkan kue. Sudah tua, begitu katanya. Telepon dari kakak adikku cukup
mengobati perasaan mama yang kesepian. Pertengahan April kami pulang. e3hidupan
normal mulai kami jalani. Tapi mama tidak bisa seperti dulu. Mama harus banyak
istirahat dan tidak boeh melakukan sesuatu yang mmbutuhkan tenaga. Mama sedih,
“mama nggak bisa bantu vivi, vivi sendirian”, ucap mama sambil menitikkan
airmata. “Tenang aja ma, doai vi sehat dan nggak kumat kumat ya ma.. sekarang
giliran vi,mama tenang tenang aja ya”. Aku bisa saja sambil becanda mencoba
menghibur mama, tapi sedih dan tangis ini hampir tiap malam hadir. Mama yang
dulu tegar, kini menjadi tak berdaya…..
Satu bulan, dua bulan,
waktu terus berlalu… Aku mulai sibuk dengan rutinitasku. Mama makin lemah
walaupun tetap rajin mngkonsumsi ramuan dan pijat refleksi. Mama pun hanya bisa
sholat dengan berbaring di tempat tidur.
Mama opname lagi, sisa tumor itu terus menggerogoti tubuh mama dengan ganasnya.
Aktivitasku pun berubah, setiap pagi suamiku yang mengurus buah hati kami, aku
dengan mama. Memandikan, menyuapi sambil mendengar cerita masa lalunya,
menemaninya hingga tertidur lelap. Aku menatapnya penuh cinta dan sayang…. Yang
ku yakin kadarnya masih jauh dari sayangnya mama padaku…
Hampir setiap malam mama
tidur dalam kesendirian, mama tidak mau aku temani. Setiap aku tanya, mama
hanya bilang ingin sendiri dan memintaku untuk istirahat. Hingga pada suatu saat,
mama terjatuh sewaktu di opname di RS. Keadaan semakin tidak menentu karena
rusuk mama terlihat memar dan mama tidak bisa menggerakkan badannya. Ya Allah,
kuatkan mama… sedih sekali melihat mama mencoba tersenyum disela rintihan
menahan sakitnya.
Kepulangan mama dari
RS, mama semakin tidak bisa melakukan apa apa.. Kakak-kakakku membelikan bel
agar mama dengan mudah memanggil aku..
Jumat, 5 Desember 2008.
Suatu saat menjelang kepulangan mama. Teman teman pengajian mama datang
menjenguk untuk yang ketiga kalinya (ternyata sekaligus yang terakhir). Sambil
terbata bata mama meminta maaf kepada semua. Nafas mama sangat sesak, aku
sangat bisa merasakan apa yang dirasakannya. Untuk kali ini aku tak bisa
mnyembunyikna kesedihanku, tangisku meledak.. pucak dari apa yang aku rasakan
selama ini… aku pergi menghindar. Sesudah tangisku reda, aku datangi mama,
mengelus keningnya. Mama jelas melihat mataku yang merah dan bengkak, mama
hanya bisa terdiam. Maafkan aku yang tak bisa lagi menyembunyikan ksedihanku
ma…
Minggu, 7 Desember
2008. Aku baru saja pulang dari RS, badanku penat. Baru saja hendak mandi,
adikku menelepon, bahwa mama minta mandi. Mama tidak mau dimandikan oleh
adik lelakiku, walaupun ia sudah
membujuk mama. Mama memang pemalu. Dengan berbekal ikhlas, aku balik lagi ke
RS, aku hanya bisa mengelap dan terpaksa memotong daster mama karena mama sudah
tidak bisa duduk. Disamping tenaga yang lemah, nafas mama sesak sekali. Kata
dokter itu dikarenakan cairan di tubuh mama sudah sampai ke saluran nafas,
ginjal mama sudah tidak berfungsi. Aku masih tidak mau mempercayainya, ah
mamaku kuat kok.. dokter bisa saja salah toh… Ya Rabb, ijinkan kami merawat
mama, menunjukkan cinta yang selama ini tak terlihat… andaikan waktu bisa
berulang…
8 Desember 2008, saat
takbir Idul Adha berkumandang, telepon bordering. Kata kakakku yang menjaga
mama, mama kritis. Tanpa mandi dan bersiap, aku dan kakakku ke RS… ternyata
mama sudah pergi jauh.. jauh sekali…. Mama, maafkan segala dosa dan salah kami
selama ini, kata yang menyakitkan hati, perbuatan yang menorehkan luka… kami
belum melakukan apa apa untuk mama.. belum bisa membahagiakan mama…
Ya Allah Pemilik Alam
Semesta.. lapangkan dan terangi kubur
mama dan papa, jauhkan mereka dari siksa kubur dan neraka… Pertemukan mereka
dan kami kelak di tempat terbaik yang Kau janjikan.. jaikan kami hamba yang
layak mnerima cintaMu.. Selamat jalan mama.. tenanglah engkau di alam sana..
percaya.. doa kami takkan pernah berhenti….
Hingga waktunya tiba…
(Untuk papa dan mama
yang selalu mewarnai pelangi dihatiku….)
0 komentar:
Post a Comment